Pemanah yang Sombong
Dua
orang pemuda, Arya dan Seta, berguru memanah kepada Resi Bhirawa. Semasa
mudanya, Resi Bhirawa adalah pemanah ulung. Setelah tua, ia menyepi di hutan
dan mengajarkan ilmunya kepada kedua muridnya itu.
Arya dan Seta
sama-sama pemanah berbakat. Sulit menentukan, siapa yang lebih pandai. Keduanya
juga rajin berlatih dan selalu patuh kepada Resi.
Hanya watak mereka
yang sedikit berbeda. Arya berwatak keras, angkuh, dan sangat ingin menjadi
pemanah terbaik. Sebaliknya Seta berwatak lembut, rendah hati, dan selalu
menyembunyikan kemampuannya. Setelah merasa cukup memberikan ilmu, Resi Bhirawa
berpesan kepada kedua muridnya.
"Muridku,
sudah saatnya kalian meninggalkan padepokan ini. Kejarlah cita-cita kalian di
luar sana. Pesanku, jadilah orang baik dan selalu membela kebenaran."
Arya dan Seta
memberi hormat, dan dengan berat hati meninggalkan gurunya. Arya melanjutkan
perjalanan menuju istana kerajaan Kahuripan. Berkat kepandaiannya memanah, ia
diterima menjadi prajurit. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai prajurit
kepala.
Seta memilih untuk
hidup tentram di desa. Ia bertani dan sesekali berburu. Untuk menjaga
kemampuannya, ia rajin berlatih memanah.
Suatu ketika, Prabu
Awangga, Raja Kahuripan, mengadakan sayembara memanah. Pemenangnya akan menjadi
menantu raja. Menjadi suami Putri Dewi Sekar Sari. Sayembara tersebar sampai ke
pelosok desa dan negara-negara tetangga.
Sebagai pemanah, Arya sangat yakin akan
menjadi pemenang.
"Tidak akan ada yang sanggup mengalahkan aku!" kata Arya dengan sombong kepada teman-temannya.
"Tidak akan ada yang sanggup mengalahkan aku!" kata Arya dengan sombong kepada teman-temannya.
Hari perlombaan
akhirnya tiba juga. Ribuan rakyat berkumpul di lapangan, menyaksikan jago-jago
pemanah bertarung. Para pangeran, panglima, dan orang biasa mempertunjukkan
kehebatan memanah. Penonton berdecak kagum dan bersorak-sorak memberi semangat.
Pada akhirnya,
memang Arya-lah yang menjadi pemenang. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Anak
panahnya selalu tepat mengenai sasaran. Penonton bersorak-sorai menyambut
kemenangannya.
Perdana Menteri
bersiap hendak mengumumkan pemenang sayembara. Namun tiba-tiba ada pemuda yang
bersenjata panah, maju ke tengah gelanggang.
"Tunggu!"
teriaknya.
Arya terkejut.
Pemuda itu adalah Seta, saudara seperguruannya.
"Ada apa anak
muda? Kenapa kau menyela pengumumanku?" tanya Perdana Menteri agak marah.
Seta menghaturkan
sembah. "Ampun Perdana Menteri. Nama hamba Seta. Hamba ingin bertanding
dengan sang juara. Apakah masih diperkenankan?" tanya Seta tenang.
Perdana Menteri
berunding dengan petinggi yang lain. Akhirnya, Seta diijinkan bertanding dengan
Arya. Kedua pemuda itu dengan gagah beriring menuju lapangan. Arya berjalan
dengan sombong, sementara Seta tampak tenang dan rendah hati.
Di babak pertama,
mereka membidik sasaran di papan yang bergaris lingkar. Pada babak ini nilai
keduanya sama-sama imbang. Di babak kedua, mereka membidik sasaran burung yang
terbang. Lagi-lagi keduanya tidak ada yang kalah.
Pada babak
terakhir, keduanya disuruh menentukan jenis pertandingan.
Arya memilih sasaran buah apel yang diletakkan di atas kepala peserta secara bergantian. Penonton berdebar-debar. Namun kembali keduanya berhasil memanah secara tepat.
Arya memilih sasaran buah apel yang diletakkan di atas kepala peserta secara bergantian. Penonton berdebar-debar. Namun kembali keduanya berhasil memanah secara tepat.
"Sekarang
giliranmu Seta! Tentukan sasaran yang harus dipanah!" tegas Arya.
Seta kemudian meminta dua batang bambu yang
sama besar dan panjangnya. Kedua batang bambu digantung di dahan pohon, di atas
kolam yang jernih. Separuh batang bambu di atas air, separuhnya di dalam air.
Di dalam air, terlihat batang bambu menjadi bengkok.
"Bidiklah
bambu di dalam air. Anak panah yang menancap pada bambu, adalah pemenangnya,"
jelas Seta. Kedua pemanah bersiap-siap menunggu aba-aba. Setelah aba-aba
dibunyikan, secepat kilat mereka membidik sasaran. Anak panah Arya menuju
bayangan bambu yang bengkok. Sementara Seta membidik daerah yang sejajar dengan
bambu di permukaan air.
Ketika bambu
diangkat, ternyata anak panah Seta menancap pada sasaran. Sedangkan anak panah
Arya meleset. Para penonton berseru terkejut.
Arya terlihat lemas dan kecewa. Namun, sebagai ksatria ia mengakui kemenangan Seta dan memberikan selamat.
Arya terlihat lemas dan kecewa. Namun, sebagai ksatria ia mengakui kemenangan Seta dan memberikan selamat.
"Selamat atas
kemenanganmu. Bagaimana kau dapat membidik dengan tepat?" tanya Arya.
"Dengan ilmu
dan kebijaksanaan," bisik Seta. "Kadang pandangan mata bisa menipu.
Karena itu jangan selalu melihat sesuatu dari luarnya."
Arya menganggukkan
kepala. Kini ia berjanji tidak sombong dan membanggakan diri.
Seta akhirnya
menjadi menantu Raja Awangga. Ia tetap hidup rendah hati dan bahagia dengan
istrinya. Arya diangkat menjadi panglima kerajaan dan menikah dengan adik Putri
Sekar Sari, yaitu Putri Intan Sari. Kedua pemanah itu menjadi pelindung
kerajaan yang membanggakan seluruh negeri Kahuripan.
Rahmat
Siswoko. Sumber : Majalah Bobo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar